Aku lebih baik mati di sini! Kebosanan telah sampai pada puncaknya.
Tak ada artinya lagi hidup di sini. Kesepian telah merasuk dari masa ke masa.
Telah ratusan tahun aku hidup di sini. Telah sepanjang hidup meresapi tubuh-tubuh yang dikuburkan di sini. Tubuh-tubuh mati yang menyisakan belatung-belatung gemuk.
Ya, tanah ini awalnya memang penuh dengan tubuh yang pergi diiringi doa dan tangisan. Namun itu dulu. Dulu sekali. Sebelum tanah ini ditinggalkan. Sekian lama kurasakan kesendirian, tak terusik selama puluhan tahun. Mengundang burung-burung untuk bersarang di pucuk-pucuk ranting, juga ular-ular berbisa di liang-liang akar.
Yudhi Herwibowo, menulis cerpen dan novel. Beberapa buku, di antaranya: Lama Fa (Sheila), Menuju Rumah CintaMu (Hikmah), Pandaya Sriwijaya (Bentang), Untung Surapati (Tiga Serangkai), Perjalanan Menuju Cahaya (Sheila), Mata Air Air Mata Kumari (bukuKatta, sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Spring of Kumari Tears), (Un)affair (bukuKatta), Miracle Journey (Elex Media Komputindo), Enigma (Grasindo), Halaman Terakhir, sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng (Nourabooks), Cameo Revenge (Grasindo), Laki-laki Bersayap Patah (bukuKatta), dsb. Novelnya yang terbaru Sang Penggesek Biola, sebuah roman Wage Rudof Supratman (Imania) dan kumpulan cerpen Empat Aku (Marjin Kiri).
Kini mengurus percetakan dan penerbitan bukuKatta, di Solo. Untuk membaca tulisan-tulisannya, kunjungi: yudhiherwibowo.wordpress.com